“Potensi dan Permasalahan Pengembangan PIR-BUN dan Perdagangan Minyak Kelapa Sawit”
PENDAHULUAN
Pada awalnya perkembangan di permulaan tahun 1900-an, perkebunan kelapa sawit diusahakan dengan berorientasi pada pasar ekspor. Dalam pengembangan selanjutnya, pada setiap REPelita, tujuan pembangunan perkebunan dirumuskan untuk mencapai
a. Peningkatan produksi untuk peningkatan devisa, pemenuhan kebutuhan industry dalam negeri, serta peningkatan pendapatan petani dan produsen;
b. Penciptaan dan pemerataan kesempatan kerja serta pemerataan pendapatan;
c. Pemeliharaan dan peningkatan produktivitas dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.
Sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas, pada tahun 1978 pemerintah mengambil kebijaksanaan mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestic karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan oleh turunnya produksi kelapa. Demikian pula pemerintahkan mengembangkan pola perusahaan Inti rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dalam rangka mencapai tujuan penciptaan kesempatan kerja, peningkatatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Saat ini, dimana penerimaan devisa dari sector migas menurun, minyak sawit dicanangkan sebagai salah satu primadona komoditas ekspor pertanian. Dari ketiga contoh diatas, nampaknya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil pemerintah dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa dating masih dirancang dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan tersebut diatas.
Aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit sampai pada kegiatan perdagangannya, dapat dipandang sebagai suatu system yang utuh yang terdiri dari 3 subsistem :
a. Subsistem usaha tani;
b. Subsistem agro industry;
c. Subsistem perdagangan.
Jurnal ini akan membahas dua permasalahan sentral dari ketiga subsistem tersebut, yaitu
a. Pengembangan produksi sawit melalui pola PIR; dan
b. Pengembangan perdagangan domestic dan internasional minyak sawit.
SISTEM PRODUKSI KELAPA SAWIT
Pengembangan Luas Areal dan Produksi
Total areal luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dengan cepat dalam 18 tahun terakhir, yaitu hamper 6 kali lipat. Pada tahun 1967 total luas areal sebesar 105 ribu hektar dengann laju pertumbuhan 10,2 % per tahun, luas areal kelapa sawit pada tahun 1985 menjadi 605 ribu hektar dilihat dari status pengusahaannya, PTP menguasai lebih dari 50% dari total luas areal. Pangsa (share) areal perkebunan rakyat terhadap total luas perkebunan kelapa sawit meningkat dengan sangat tajam. Pangsa tersebut tahun 1979 baru sebesar 1,2 %, lalu meningkat menjadi 19,8 % pada tahun 1985. Keadaan sebaliknya terjadi pada perkebunan besar swasta, laju pertumbuhan menunjukkan gejala yang menurun dari pelita ke pelita, walaupun secara absolute luas areal meningkat, yaitu 40.000 Ha pada tahun 1967 menjadi 143.000 Ha tahun 1985. Pada pelita III, laju pertumbuhannya sebesar 7,1 % per tahun, yakni setengah dari laju pertumbuhan yang pernah dicapai pada pelita I, yaitu 14,4 %.
Dari seluruh areal kelapa sawit di Indonesia tahun tersebut, 58 % merupakan areal yang sudah menghasilkan (produktif), sisanya 41 % adalah areal yang belum menghasilkan (tanaman muda) dan 1 % areal yang sudah disebabkan adanya program perluasan areal kelapa sawit dengan skala besar. Salah satu bentuk program investasi penanaman kelapa sawit yang dilakukan pemerintah adalah pola PIR yang dimulai pada tahun 1979. Pada pelita III peremajaan dan perluasan areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 289.500 Ha. Peremajaan dan perluasan areal padaperkebunan rakyat sebesar 35.100 Ha (12,1 %), PTP sebesar 194.700 Ha (69,2 %), dan 59.700 Ha (20,6 %) pada perkebunan besar swasta.
Berdasarkan luas areal kelapa sawit tahun 1985, yaitu 597.400 Ha, sekitar 94 % berada di Sumatera, sisanya berada diluar sumatera (Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya). Sumatera Utara merupakan provinsi yang mempunyai total luas areal kelapa sawit terbesar, yaitu 67 % dari total area pada tahun 1985. Demikian juga untuk areal tanaman muda dan produktif, Sumatera Utara mendominasi kedua jenis areal tersebut, yaitu sebesar 51% dari total areal tanaman muda, dan 79 % daro total areal tanaman produktif. Propinsi lain di Sumatera yang mempunyai luas areal kelapa sawit yang cukup berarti adalah aceh (6,7%), Sumatera Barat (1,7%), Raiu ( 10,6%), Sumatera Selatan (4,9%), dan lampung (1,8%).
Table 1. Luas areal perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan, Indonesia, 1967 - 1986
| Tahun | Perkebunan Rakyat | Perkebunan Besar Negara | Perkebunan Besar Swasta (Ha) | Total |
| 1967 | - | 65.573 | 40.235 | 105.808 |
| 1968 | - | 79.209 | 40.451 | 119.660 |
| 1969 | - | 84.640 | 34.880 | 118.935 |
| 1970 | - | 86.640 | 46.658 | 133.298 |
| 1971 | - | 91.153 | 47.950 | 139.103 |
| 1972 | - | 96.562 | 55.497 | 152.059 |
| 1973 | - | 98.033 | 59.747 | 157.780 |
| 1974 | - | 117.513 | 64.223 | 181.736 |
| 1975 | - | 120.940 | 67.885 | 188.825 |
| 1976 | - | 141.333 | 69.772 | 211.105 |
| 1977 | - | 143.775 | 71.626 | 220.401 |
| 1978 | - | 163.465 | 86.651 | 250.461 |
| 1979 | 3.125 | 176.408 | 81.406 | 260.939 |
| 1980 | 6.175 | 199.538 | 88.847 | 294.560 |
| 1981 | 5.695 | 213.264 | 100.008 | 318.967 |
| 1982 | 8.537 | 224.440 | 96.924 | 329.901 |
| 1983 | 37.043 | 261.339 | 107.264 | 405.646 |
| 1984 | 40.552 | 340.511 | 130.958 | 512.021 |
| 1985 | 118.564 | 335.195 | 143.603 | 597.362 |
| 1986*) | 129.904 | 331.336 | 144.182 | 605.422 |
| Laju | ||||
| Pertumbuhan | ||||
| Pelita I | 3,7 | 14,4 | 7,3 | |
| Pelita II | 8,6 | 7,8 | 8,3 | |
| Pelita III | 85,6 | 10,3 | 7,1 | 11,7 |
| (1967 – 85) | 70,3 | 9,4 | 7,3 | 10,2 |
Tabel 2. Luas areal kelapa sawit menurut jenis pengusahaan dan kawasan, 1985
| Jenis Pengusahaan | Sumatera | Luar Sumatera | Indonesia | |||
| (Ha) | (%) | (Ha) | (%) | (Ha) | (%) | |
| Perkebunan Rakyat | 97.436 | 82,2 | 21.128 | 17,8 | 118.564 | 100 |
| Perkebunan Besar Swasta | 138.900 | 96,7 | 4.703 | 3,3 | 143.603 | 100 |
| Perkebunan Besar Negara | 324.521 | 96,8 | 10.674 | 3,2 | 335.195 | 100 |
| Total | 560.857 | 93,3 | 36.505 | 6,1 | 597.362 | 100 |
Dari seluruh areal kelapa sawit di Indonesia tahun tersebut, 58% merupakan areal yang sudah menghasilkan (produktif). Sisanya 41% adalah areal yang belum menghasilkan (tanaman muda) dan 1% areal tanaman yang sudah rusak/tua. Dilihat dari status pengusahaannya, PTP dan Perkebunan Besar Swasta mempunyai areal produktif sekitar 61,2 % sampai 69,3 % dari total areal tanam. Sebaliknya pada perkebunan rakyat, luas areal produktif hanya 24,0 %. Keadaan ini disebabkan karenameningkatnya areal tanaman muda yang ditanam mulai tahun 1981/1982 dan umur panen kelapa sawit sekjtar 4 – 5 tahun, sehingga sampai tahun 1985 perkebunan rakyat banyak yang belum menghasilkan.
Perkembangan produksi Minyak Sawit
Sejalan dengan perkembangan luas areal, produksi minyak sawit mengalami peningkatan yang besar. Total produksi minyak sawit meningkat 7,5 lipat, sebesar 168 ribu ton pada tahun 1967 menjadi 1,2 juta ton tahun 1985. Selama 18 tahun
Table 3. Produksi minyak sawit menurut status pengusahaan, Indonesia, 1967 – 1986
| Tahun | Perkebunan Rakyat | Perkebunan Besar Negara (ton) | Perkebunan Besar Swasta | Total |
| 1967 | - | 108.514 | 59.155 | 167.699 |
| 1968 | - | 122.369 | 59.075 | 181.444 |
| 1969 | - | 128.561 | 60.240 | 188.801 |
| 1970 | - | 147.003 | 69.824 | 216.827 |
| 1971 | - | 170.304 | 79.653 | 249.957 |
| 1972 | - | 189.261 | 80.203 | 269.464 |
| 1973 | - | 207.448 | 82.229 | 289.677 |
| 1974 | - | 243.641 | 104.035 | 347.696 |
| 1975 | - | 271.171 | 126.082 | 397.253 |
| 1976 | - | 286.096 | 144.910 | 431.006 |
| 1977 | - | 336.891 | 120.716 | 456.940 |
| 1978 | - | 336.224 | 165.060 | 501.951 |
| 1979 | 760 | 438.756 | 201.724 | 641.240 |
| 1980 | 720 | 498.908 | 221.544 | 721.172 |
| 1981 | 1.045 | 533.399 | 265.616 | 800.060 |
| 1982 | 2.955 | 598.653 | 285.212 | 886.820 |
| 1983 | 3.454 | 710.430 | 269.102 | 982.978 |
| 1984 | 4.031 | 814.715 | 329.444 | 1 148.190 |
| 1985 | 43.016 | 867.973 | 342.441 | 1 253.430 |
| 1986*) | 89.775 | 986.828 | 375.807 | 1 452.410 |
| Laju | ||||
| Pertumbuhan | ||||
| Pelita I | 12,7 | 8,1 | 11,3 | |
| Pelita II | 8,4 | 12,2 | 9,6 | |
| Pelita III | 46,6 | 12,8 | 7,5 | 11,3 |
| (1967 – 85) | 95,9 | 12,2 | 10,2 | 11,8 |
terakhir laju pertumbuhan total produksi sebesar 11,8% per tahun. Lalu pertumbuhan terendah terjadi pada Pelita II yaitu 9,6 % dan kemudian meningkat pada Pelita III sebesar 11,3 % per tahun, sama dengan yang telah dicapai pada Pelita I. keadaan ini juga terjadi pada PTP. Lalu pertumbuhan produksi di PTP sebesar 8,4 % per tahun pada Pelita II, lebih rendah daripada laju pertumbuhan pada Pelita I dan Pelita III, masing-masing sebesar 12,7 % dan 12,8 % per tahun. Sebaliknya pada perkebunan besar swasta, lau pertumbuhan pada pelita III sebesar 7,5 % per tahun, lebih rendah dari yang pernah di capai pada Pelita II (12,2%).
Rencana Pengembangan Areal dan Produksi pada Pelita V
Luas areal dan produksi minyak sawit dalam Pelita V masih akan meningkat denga pesat. Direktotar Jenderal Perkebunan sudah menggariskan kebijaksanaan bahwa minyak sawit, bersama-sama dengan coklat, lada, kapas, tembakau dan serat-seratan merupakan komoditas yang akan di pacu pertumbuhan produksinya.
Perkembangan luas areal dari peremajaan dan perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi perkebunan minyak sawit masih akan berlangsung dengan cukup tinggi. Untuk dua tahun terakhir Pelita IV (1987 dan 1988) target perluasan dan peremajaan areal tersebut sebesar 187.000 Ha, sedangkan selama Pelita V (1989 – 1993) target tersebut mencapai total 290.000 Ha.
Table 4. target luas areal peremajaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak sawit, Indonesia, 1987 – 1993
| Tahun | Target | |
| Perluasan areal peremajaan (1000 Ha) | Produksi (1000 ton) | |
| 1987 | 76,0 | 1.698 |
| 1988 | 111,2 | 2.048 |
| 1989 | 93,6 | 2.388 |
| 1990 | 80,7 | 2.727 |
| 1991 | 59,4 | 3.218 |
| 1992 | 40,1 | 3.680 |
| 1993 | 16,0 | 4.074 |
Dengan program peremajaan dan perluasan areal yang cukup besar tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan memproyeksikan pada pelita IV pertumbuhan produksi akan mencapai 15,6% per tahun, dan pada Pelita V sebesar 11,2 % per tahun. Data target produksi dan perluasan areal dapat dilihat dalam table 4.
PENGEMBANGAN PIR-BUN KELAPA SAWIT
Perkembangan Luas Areal dan Penyebaran Kebun
Program PIR terdiri dari kebun inti dan plasma. Sesuai dengan pembagian di atas maka kebun inti dimasukkan ke dalam usaha perkebunan Negara (PTP) dan plasma dimasukkan ke dalam perkebunan rakyat. Berdasarkan table 1 dan table 5, terlihat bahwa presentase terbesar dari luas areal kebun rakyat adalah kebun plasma dari program PIR. Pada awal pembangunan PIR (tahum 1979), luas seluruh areal perkebunan rakyat sebesar 3.125 Ha, naik menjadi 6.175 Ha pada tahun 1980.
Tabel 5. Target dan realisasi luas areal tanam kelapa sawit pada inti dan plasma PIR-BUN, Indonesia 1977/78 – 1987/88.
| Tahun | Inti | Plasma | ||||
| Target | Realisasi | Kumulatif | Target | Realisasi | Kumulatif | |
| 1977/78 | 1.000 | 1.787 | 1.787 | - | - | - |
| 1978/79 | 2.000 | 1.988 | 3.775 | - | - | - |
| 1979/80 | 6.117 | 5.443 | 9.218 | - | - | - |
| 1980/81 | 864 | 880 | 10.098 | 1.000 | 961 | 961 |
| 1981/82 | 1.420 | 1.655 | 11.753 | 11.120 | 9.352 | 10.313 |
| 1982/83 | 3.700 | 3.358 | 15.111 | 23.145 | 17.419 | 27.732\\\\\\\\\\\\\\\\\ |
| 1983/84 | 4.050 | 2.604 | 17.715 | 20.807 | 19.648 | 47.380 |
| 1984/85 | 5.000 | 3.717 | 21.432 | 26.280 | 20.901 | 68.281 |
| 1985/86 | 12.150 | 11.392 | 32.824 | 24.084 | 25.013 | 93.294 |
| 1986/87 | 6.950 | 10.004 | 42.828 | 31.903 | 16.524 | 109.818 |
| 1987/88 | 3.320 | 1.029 | 43.857 | 19.447 | 2.479 | 112.297 |
|
| 46.571 | 43.857 | 157.788 | 112.297 |
Kenaikan ini adalah sebagai akibat pembangunan plasma sebanyak 961 Ha atau sebesar 15,6 % dari seluruh perkebunan rakyat. Pada tahun 1986 luas seluruh plasma telah mencapai 109.818 Ha atau sebanyak 84,5 % dari seluruh perkebunan rakyat. Dengan demikian jelas bahwa pertambahan luas areal perkebunan rakyat kelapa sawit adalah akibat pertambahan luas plasma PIR. Selebihnya yaitu 15,5 % dari perkebunan rakyat adalah perkebunan rakyat lainnya yang dapat berupa pola Unit Pelaksana Proyek (UPP), atau pla swadaya masyarakat.
Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pembangunan plasma juga di barengi dengan pembangunan inti. Berdasarkan table 5, terlihat bahwa pembangunan inti dilakukan terlebih dahulu dari pembangunan plasma. Secara kumulatif perbandingan antara pembangunan inti dengan plasma tidak menentu. Sesuai dengan perkembangan perkebunan rakyat, sebagian besar PIR sawit dikembangkan di provinsi-provinsi di Sumatera. Di luar Sumatera PIR sawit di bangun di Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.
Dampak Perkembangan Wilayah
Di samping dua tujuan utama yaitu kesejahteraan petani peserta dan peningkatan produksi yang disebut diatas, pembangunanm perkebunan denga pola PIR juga mempunyai implikasi pembangunan wilayah. Dalam arti bahwa proyek yang bersangkutan selain mampu mengalihkan tekhnologi maju sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan beserta tanamannya, juga diharapkan mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada para peserta dan dapat memberikan dampak pelipatgandaan (multiflier effect) kepada bagian-bagian masyarakat diluar proyek maupun kepada sector-sektor kegiatan ekonomi lainnya di dalam wilayah dimana proyek itu berada.
Berdasarkan pengamatan di tiga kasus PIR-BUN sawit tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya terjadi peningkatan aktivitas pasar terdekat terutama pada saat pembangunan fisik PIR tersebut dilakukan. Dampak perubahan tekhnologi bidang pertanian terhadap daerah sekitarnya belum terjadi. Dampak yang diharapkan adalah system budidaya bentuk perkebunan ini akan ditiru oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini tidak terjadi karena begitu banyaknya pembatas pada petani seperti dinamika inovasi yang rendah dan juga factor modal.
Dampak wilayah lainnya adalah PTP memperoleh eksternalitas positif dari sarana dan prasarana yang sebelumnya sudah tersedia sebelum pengembangan PIR tersebut dilakukan, seperti penggunaan jalan (transportasi) yang tersedia oleh perusahaan atau instansi lain.
Teknik dan Tekhnologi Budidaya
Teknik dan tekhnologi yang dimaksud melipuri penggunaan bibit serta jenis varietas yang digunakan, penggunaan current input, pemeliharaan tanaman yang diterapkan serta panen. Pemeliharaan yang meliputi menyiang, keadaan lalang, dongkelan, parit, pemangkasan, pemupukan, perawatan jalan, pemberantasan hama dan penyakit serta teknik panen, telah mengikuti system yang dilakukan oleh PTP.
Penerapan teknologi budidaya tanaman dengan demikina sudah berjalan sangat baik sesuai dengan teknologi yang lazim digunakan di PTP kebun kelapa sawit umunya. Sehingga pengetahuan penerapan teknologi budidaya tanaman bukan merupakan penghalang dalam pengembangan komoditas kelapa sawit dengan asumsi bahwa factor social tenaga kerja dapat dikendalikan.
Penggunaan Tenaga Kerja
Di PIR kelapa sawit kasus I, tenaga kerja efektif tersedia dalam tiap rumah tangga 4,78 jiwa atau setara dengan 2,99 HKP per hari setelah dikurangi untuk kegiatan rumah tangga. Jumlah tenaga kerja total yang tersedia terdiri dari 433 HKP tenaga kerja pria, 201 HKP dari wanita, dan 156 HKP dari anak.
Kebutuhan tenaga kerja untuk perusahaan tanaman sawit, mulai dari tahun ke-0 sampai tahun ke-6 berbeda-beda. Setelah tahun ke-6 kebutuhan tersebut relative tetap. Kebutuhan tenaga kerja yang paling tinggi pada tahun ke-0 kemudian menurun hingga tahun ke-3 dan meningkat lagi tahun ke-4, kemudian menurun lagi sampai tahun ke-6. Berdasarkan perhitungan sederhana tenaga ini masih mampu mengelola kebun sawit 2 Ha lagi, sehingga setiap kepala keluarga akan mampu mengelola 4,5 Ha. Luasan ini sesuai dengan yang di alokasikan oleh FELDA di Malaysia, dimana tiap kepala keluarga petani mendapat alokasi kebun sawit seluas 4 Ha.
Produktivitas
Tingkat produksi per hektar yang dihasilkan oleh kebun inti di PIR pada kasus II lebih tinggi dibandingkan dengan yang di hasilkan oleh plasmanya. Namun tak terlihat perbedaan yang jauh antara produksi per hektar yang dihasilkan kebun inti kasus II dan kebun plasma kasus I. bila dianggap bahwa kondisi sumberdaya sama di kedua tempat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tingkat penyerapan teknik dan tekhnologi sebagai fungsi transfer teknik dan teknologi lebih berhasil di plasma kasus I daripada plasma kasus II. Fluktuasi produksi sebagai factor iklim nyata dikedua lokasi tersebut, tetapi dengan trend yang membaik. Rata-rata tyingkat produksi ini dapat mencapai perkiraan yang sebelumnya dilakukan, Currebt input yang digunakan sama dengan rekomendasi di inti, sedangkan kebutuhan tenaga kerja tersedia dari peserta. Harga produksi tidak mempengaruhi factor produksi atau teknik dan teknologi budiday (pada jangka pendek).
Pendapatan Petani
Sumber pendapatan petani plasma di PIR kasus I dapat dibedakan atas 4 bentuk, yaitu sebagai buruh harian di kebun, pendapatan dari hasil penjualan kelapa sawit, usahatani lahan pangan dan pekarangan, serta usaha jasa lainnya. Sumbangan pendapatan yang berarti adalah dari dua bentuk kegiatan pertama. Lahan pangan dan pekarangan masih diusahakan seadanya dan hasilnya tidak cukup berarti. Belum ada penerimaan tunai petani dari usaha ini. Sedangkan usaha jasa lainnya, seperti berdagang hanya dilakukan beberapa keluarga saja.
Table 6. pendapatan total petani plasma dan sumber pendapatannya, agustus 1987
| Penerimaan rata-rata atas upah kerja (buruh) | Rp 13.093.00 |
| Penerimaan bersih rata-rata dari penjualan hasil | Rp 193.058,81,- |
| Penerimaan dari usaha pangan dan pekarangan | Rp - |
| Pendapatan | Rp 206.151,81,- |
Penerimaan bersih rata-rata petani dari hasil penjualan hasil TBS kelapa sawit sebesar Rp. 193.058,81 selama bulan agustus 1987. Perincian penerimaan ini berupa penerimaan kotor. Biaya kebun langsung dan tidak langsung, dapat dilihat pada table 7 berikut. Berdasarkan tabel 7 tersebut terlihat bahwa hanya sebesar 61,2 % dari hasil penjualan yang diterima oleh petani. Sebesar 33,7 % (Rp 99.804,5,-) digunakan untuk membayar biaya usaha tani langsung dan sisanya biaya tidak langsung. Bila tidak dilakukan biaya pengelolaan yang lebih baik melalui system manajemennya, maka biaya usahatani dapat ditekan lebih rendah sehingga memperbesar penerimaan petani bersih.
Tabel 7. Penerimaan kotor, biaya kebun dan penerimaan bersih petani melalui pengolahan oleh KUD per bulan
| Penerimaan kotor dari hasil Penjualan…. 3879.32 Kg a Rp 76.30,- = Rp 295992.16 (100%) Biaya usahatani kebun | |
| 1. Biaya Langsung a. Biaya pemeliharaan b. Pembelian Pupuk c. Upah Panen d. Biaya Angkut Panen, TBS, Pupuk | Rp 99804.55 (33.7%) 20718.70 40000 21349,71 17736.14 |
| 2. Biaya Tidak langsung a. Panjar Jembatan b. Tunjangan Manager c. Alat-alat Kantor d. Sumbangan e. Biaya Tamu f. Simpanan Wajib g. Perjalanan h. Administrasi i. Krikil j. Keamanan | 3128.8 (1.1%) 200.00 110.40 136.80 300.00 22.10 1000.00 674.6 399.9 155.00 190.00 |
|
Penerimaan bersih petani hasil penjualan | Rp 102933.35 (38.8%) Rp 193058.81 (61.2%) |
Dari gambaran perkembangan hasil penjualan TBS, biaya usahatani dan penerimaan bersih total serta penerimaan bersih per KK, dapat dilihat bahwa biaya usahatani tetap meningkat berbarengan meningkatnya hasil penjualan sehingga penerimaan petani relative hanya meningkat sedikit.
Pengelolaan dan pemasaran hasil
Pengelolaan hasil
TBS dari hasil permanennya selanjutnya diangkut dengan pikulan ke tempat pemikulan dan kemudian diangkut dengan truk ke pabrik untuk dip roses menjadi minyak dan inti sawit. Mutu minyak dan inti sawit yang dihasilkan dari pengolah TBS yang kandungan FFA maksimum 2,5 % dalam penanganannya harus memenuhi persyaratan maksimum sebagai berikut. Untuk minyak sawit kenaikan kandungan FFA selama prosessing tidak lebih dari 0,3 %, kadar air 0,08 %, kandungan kotor 0,01 %. Sedang untuk inti sawit, maksimum kadar air inti sawit kering 7,0 %, shell and dirt in bagged kernes 2,75 %, inti sawit pecah 10,0 % dan inti sawit putih 50,0 %. Keragaan presentase ini akan mempengaruhi mutu minyak dan inti yang dihasilkan. Sementara mutu tersebut sangat berpengaruh dalam pemasaran (ekspor). Berikut ini gambaran mengenai jenis-jenis mutu minyak sawit di pasaran internasional.
Tabel 8. Jenis mutu minyak sawit dipasaran internasional.
| Spesifikasi | Mutu | |||
| Regular Oil | SPB* | SQ** | Lotox | |
| Asam Lemak Bebsa (%) | 5 | 2.5 | 2 | 3 |
| Air (%) | 0.10 | 0.10 | 0.10 | 0.10 |
| Kotoran (%) | 0.10 | 0.10 | 0.10 | 0.02 |
| Bilangan Peroksida (%) | 10 | 2 | - | 3 |
| Bilangan Lonida | 45 - 56 | 53 – 1.5 | - | - |
| Logam Besi (PPM) | 10 | 10 | - | 5 |
| Logam Tembaga (PPM) | 0.5 | 0.5 | - | 0.5 |
| Carotine (PPM) | 500 - 700 | 500 | - | - |
| Tochoperol (PPM) | 400 - 600 | 800 | - | - |
| Bilangan Anisidin (Meg) | - | - | - | 4 |
| Totax (Meg) | - | - | - | 15 |
| Pemucatan : - Merah | 3.5 | 2 | - | - |
| - Kuning | 35 | 20 | - | - |
*) special prine bleanch, **) special quality
Biaya pengolahan dari minyak dan inti sawit pada pabrik di inti (PTP) juga mempengaruhi harga TBD petani peserta. Biaya olah minyak dan inti per kg di pabrik PTP, periode januari – juni 1986 adalag sebagai berikut :
| Kompnen Biaya | Minyak | Inti |
| a. Biaya Olah Langsung b. Penyusutan c. Biaya Penjualan d. Biaya Administrasi e. pengangkutan | 35.50 23.50 15.60 23.50 - | 35.50 23.50 - - 60 |
| Jumlah | Rp 98.10,- | Rp 119,- |
Pemasaran Hasil
Berdasarkan perjanjian, setiap harus menjual hasil ke inti (PTP) yang menangani pembangunan kebun plasma tersebut. Pabrik pengolahan kelapa sawit selain yang diusahakan oleh swasta. Dengan demikian muncul alternative penjualan TBS petani plasma, bila tidak terikat oleh perjanjian. KUD atas nama petani berusaha menjual hasil pada harga yang paling tinggi sehingga diperoleh penerimaan yang tertinggi.
Perkembangan tempat penjualan antara ke pabrik PTP dan swasta serta harga penerimaan petani dari setiap tempat penjualan, disajikan pada tabel 9.
Tabel 9. Perkembangan tempat tujuan penjualan dan harga kelapa sawit plasma Maret 1985 – November 1987.
| Bulan dan Tahun | Jumlah produksi (ton / TBS) | Harga (ton / TBS) | |
| inti | Swasta | ||
| Maret (1985) April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember | 289 408 417 524 560 616 682 542 509 622 | 53,49 52,75 52,15 51,15 48,12 48,79 41,25 39,49 31,86 34,61 | - - - - - - - - - - |
| Januari (1986) Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember | 328 638 1258 728 1340 1050 1253 1414 1707 1438 935 1172 | 32,38 36,04 29,42 18,11 15,02 19,17 17,41 15,00 - - - - | - - - - - - - 48,0 48,0 43,50 46,25 68,0 |
| Januar (1987) Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November | 514 765 888 1193 1510 1468 1940 1873 2915 1887 78 | - - - - - 75,97 76,30 77,91 74,09 70,63 69,59 | 73,0 88,0 89,0 108,0 89,50 - - - 78,00 82,50 - |
PERDAGANGAN DOMESTIK DAN INTERNASIOANL MINYAK SAWIT
Perkembangan Pasar Domestik Minyak Sawit
Sumber utama minyak nabati Indonesia adalah minyak kelapa dan minyak sawit. Sampai akhir decade 1970-an sebagian besar pemenuhan kebutuhan minyak nabati dalam negeri dipenuhi oleh minyak kelapa. Sementara itu orientasi pengusahaan minyak sawit adalah pasar ekspor.
Pada tahun 1985 bagian terbesar (86%) minyak sawit yang dipasarkan di dalam negeri digunakan sebagai input untuk pabrik minyak goring. Hanya 14% saja sebagai bahan baku untuk pembuatan margarine, sabun cuci, dan sabun mandi. Sementara itu dari total perkiraan konsumsi kelapa tahun 1985 sebesar 1,65 juta ton kopra ekivalen, 36,5 % di konsumsi sebagai kelapa segar, 41,5 % sebagai bahan baku minyak goring, 16,1 % untuk minyak kelentik, dan 5,8% bahan baku margarine, sabun cuci dan sabun mandi.
Keragaman Ekspor Minyak Sawit Indonesia
Karena kebijaksanaan pemerintah tersebut diatas, pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami stagnasi dan fluktuasi yang besar, walaupun produksi meningkat dengan percepatan yang mengesankan. Selam tahun 1967 – 1985, produksi minyak kelapa sawit meningkat dengan pertumbuhan 11,8 % per tahun, dan dalam pelita IV diperkirakan meningkat lagi dengan kecepatan 15,6 % pertahun. Bersamaan dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan ekspor dari non migas, harga minyak sawit dunia mulai menurun. Harga komoditas ini pada tahun 1985 sebesar $ 551 per ton dan pada tahun 1986 turun menjadi $ 257 per ton.
Pasar tradisional minyak kelapa sawit Indonesia adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Pada pertengahan tahun 1970-an, 32 % ekspor minyak sawit dikapalkan ke Negara ini. Pangsa ini meningkat menjadi 50% pada periode 1978 – 1980, kemudian meningkat lagi menjadi 84 % pada periode 1981 – 1983. Sebaliknya pangsa ekspor komoditas ini ke Amerika Serikat dan ke Jepang menurun terus.
Tabel 10. Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia.
| Tahun | Produksi | Ekspor | % Ekspor terhadap produksi |
| 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 19861) | 248 270 290 351 411 434 497 532 641 702 752 884 983 1.148 1.253 1.428 | 218 241 269 292 386 406 405 412 351 503 196 260 346 128 519 425 | 89 89 93 83 94 94 81 77 55 72 26 29 35 11 41 30 |
1) sampai dengan Desember 1986.
Pasar lainnya yang mempunyai potensi permintaan cukup besar adalah India, Pakistan, Kenya, dan Negara-negara Timur Tengah. Namun pemanfaatan pasar-pasar tersebut sebagai pengimpor minyak sawit Indonesia masih belum mapan. Data tahun 1985 – 86 (s/d juni) menunjukkan 75 % minyak sawit Indonesia di ekspor ke 5 negara MEE ( Perancis, Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman Barat), sementara itu hanya 2 % dan 1 % saja ke Amerika Serikat dan Jepang.
Tabel 11. Ekspor minyak sawit Indonesia berdasarkan Negara tujuan.
| Tahun | Volum ekspor /th (1000 ton) | Negara Tujuan (%) | ||
| MEE 1) | Amerika Serikat | Jepang | ||
| 1975 - 77 | 391 | 32 | 11 | 7 |
| 1978 - 80 | 422 | 50 | 3 | 2 |
| 1981 - 83 | 267 | 84 | 1 | 2 |
| 1984 - 86 | 353 | 75 | 2 | 1 |
Pangsa minyak sawit terhadap nilai ekspor pertanian berfluktuasi karena adanya fluktuasi volume dan harga ekspor. Sampai tahun 1973 minyak sawit merupakan penyumbang ketiga terhadap nilai ekspor komoditas pertanian, setelah karet dan kopi, tahun 1974 dan 1985 menjadi nomor dua. Sejak tahun 1976 kembali menjadi nomor tiga dengan pangsa yang berfluktuasi dan cenderung menurun. Pangsa minyak sawit terhadap total penerimaan ekspor Indonesia selama 1971 – 1985 cenderung menurun. Sampai 1975, pangsa tersebut sebesar 2,4 %, kemudian menurun menjadi 1,0 % tahun 1980 dan hanya 0,4 % tahun 1984.
Tabel 12. Pangsa minyak sawit terhadap penerimaan ekspor, 1971 – 1985
| Tahun | Nilai Ekspor M. Sawit (juta $US) | Pangsa trehadap nilai ekspor (%) | |
| Komoditas Pertanian 1) | Total | ||
| 1971 1972 1973 1974 1975 1976 1977 1978 1979 1980 1981 1982 1983 1984 1985 | 51,87 45,72 77,25 174,43 163,16 147,69 198,66 208,85 264,72 223,43 82,87 83,64 122,08 78,15 186,77 | 12,34 11,10 11,38 19,41 20,97 13,19 11,48 12,17 12,01 9,77 5,18 6,42 7,07 3,87 10,14 | 3,83 2,52 2,34 2,39 2,41 1,72 1,84 1,88 1,73 1,03 0,37 0,44 0,65 0,37 0,99 |
Keterkaitan Pasar Internasional Minyak Nabati
Paling sedikit ada 13 minyak nabati dan hewani utama yang mempunyai keterikatan yang erat satu sama lainnya, baik ditinjau dari segi teknis (tingkat substitusi) ataupun dari segi ekonmis atau harga. Korelasi antar harga-harga minyak tersebut di pasar internasional cukup tinggi, sebagian besar lebih dari 0.90 (LPEM-UI, 1987). Tingkat subtitusi teknis yang tinggi antar minyak-minyak tersebut makin meningkat karena adanya kemajuan teknologi pengolahan., walaupun dalam jangka yang sangat pendek tidak tertutup kemungkinan adanya hubungan yang komplementer. Hal ini dapat disebabkan adanya komposis campuran yang spesifik antara minyak-minyak tertentu dalam suatu industry pengolahan makanan atau sabun sehingga respon permintaan dari suatu jenis minyak atas perubahan harga minyak yang lain yang termasuk ke dalam campuran tadi dalam jangka sangat pendek akan menunjukkan sifat hubungan yang komplementer. Hal ini dapat terjadi karena secara umum akan ada kesenjangan waktu antara respon perubahan teknologi terhadap perubahan harga.
Dengan adanya kemajuan teknologi pengolahan, transportasi, dan informasi pasar, pasar minyak nabati makkin teritegrasi. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an, dilaporkan adanya keterpisahan pasar yang nyata di pasar MEE antara minyak kelapa dengan minyak-minyak kedelai, bunga matahari, ikan dan sawit. Namun, pada periode 1971-1982 keterpisahan pasar dari komoditas-komoditas tersebut sudah tidak Nampak lagi.
Posisi dan Perdagangan Minyak Sawit Dalam Perekonomian Minyak Nabati Dunia.
Dilihat dari volume produksi dan ekspor dunia, minyak sawit menempati urutan kedua setelah minyak kedelai. Pada tahun 1985, 10.4 % dari total produksi minyak nabati dan hewani dunia berupa minyak sawit. Dari total produksi minyak sawit dunia 7,6 juta ton, sebesar 4,1 juta ton (54%) di ekspor. Sementara itu dari total produksi minyak kedelai dunia sebesar 14,2 juta ton, hanya 6,4 juta ton (45 %) yang dialokasikan untuk ekspor. Pada tahun 1985 pangsa minyak sawit trehadap total ekspor minyak nabati dan hewani dunia pada tahun tersebut masing-masing sebesar 73,7 juta ton dan 23,5 juta ton.
Total konsumsi dan konsumsi per kapita minyak nabati da hewani di Negara-negara maju jauh lebih besar di bandingkan dengan hal tersebut di Negara-negara berkembang.
Tabel 13. Produksi, konsumsi, ekspor dan impor minyak sawit beberapa Negara utama.
| Negara | Volume (‘000 ton) | % | Negara | Volume (‘000 ton) | % |
| Produksi Malaysia Indonesia Nigeria Zaire Columbia PNG Dunia | 3.817 1.200 550 169 132 120 6.751 | 56,5 17,8 8,1 2,5 2,0 1,8 100,0 | Konsumsi India Nigeria Indonesia Malaysia Pakistan China Dunia | 728 600 593 504 477 263 6.500 | 11,2 9,2 9,1 7,8 7,3 4,0 100,0 |
| Ekspor Malaysia Singapura Indonesia Belanda PNG Ivory Loast Dunia | 3.256 1.000 652 136 113 56 5.274 | 61,7 19,0 12,4 2,6 2,2 1,1 100,0 | Impor Singapura Belanda India Pakistan Soviet Irak Dunia | 1.020 772 728 487 300 180 5.434 | 18,8 14,2 13,4 9,0 5,5 3,3 100,0 |
Prospek Jangka Pendek Perdagangan Minyak Sawit Indonesia
Yang dimaksud dengan jangka pendek yaitu kurun waktu kurang dari 5 tahun. Dari sisi penawaran, apabila keadaan cuaca normal, dalam kurun waktu tersebut produksi minyak sawit dapat di ramalkan dengan cukup akurat. Dalam kurun waktu ini produksi akan di pengaruhi oleh kebijaksanaan perluasan dan peremajaan serta teknologi berproduksi yang telah di terapkan. Sementara itu elastisitas penawaran terhadap harga dalam jangka pendek sangat tidak elastic sehingga perubahan harga tidak akan nyata berpengaruh terhadap produksi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas dapat diramalkan produksi minyak sawit dalam jangka pendek akan tumbuh dengan pesat. Untuk kurun waktu 1980 – 1990, FAO meramalkan produksi minyak sawit dunia akan meningkat dengan 7,2 % per tahun.
Direktorat jenderal perkebunan memproyeksikan pertumbuhan produksi minyak sawit Indonesia sebesar 15,6 % per tahun selama Pelita IV dan 11,2 % per tahun selama Pelita V. laporan lainnya menyebutkan selama tahun 1986 – 1992 produksi minyak sawit dunia akan naik sebesar 8,2 % per tahun dan peningkatan produksi Indonesia sebesar 12,5 % per tahun. Dengan diketahuinya informasi ini dapat diharapkan penawaran ekspor minyak sawit dari Indonesia akan tumbuh dengan kecepatan yang cukup tinggi.
Prospek Jangka Panjang Perdagangan Minyak Sawit Indonesia.
Dalam jangka panjang dapat diharapkan baik sisi penawaran ataupun sisi permintaan akan berpengaruh dan melakukan penyesuaian terhadap keadaan pasar minyak nabati. Karena itu kedua kekuatan pasar ini akan di kaji lebih lanjut.
Sisi Penawaran
Dalam tahun 1980-an harga absolute dan riil komoditas pertanian menurun terus. Indeks harga komoditas pertanian pada tahun 1980 sebesar 105 turun menjadi 71 pada tahun 1986. Indeks harga minyak nabati dan hewani juga demikian, dari 96 tahun 1980 menjadi 50 pada tahun 1986. Menghadapi kenyataan jatuhnya harga yang tajam tersebut, penyesesuaian dari sisi penawaran di ramalkan akan terjadi berupa pertumbuhan produksi komoditas tersebut yang relative lambat, sehingga harga bias meningkat kembali. Sejalan dengan konsep self correcting mechanism ini, Bank Dunia meramalkan adanya kenaikan harga riil komoditas pertanian pada akhir 1980-an sampai awal 1990.
Sisi Permintaan
Dari sisi permintaan, keadaan sebaliknya dari penawaran diramalkan akan terjadi. Pertumbuhan permintaan impor minyak nabati dunia akan meningkta dengan lamban. Produksi biji-bijian berminyak di Uni Soviet dilaporkan akan meningkat dan Pakistan sedang berusaha berswasembada dalam biji-bijian berminyak. Dengan adanya peningkatan produksi biji-bijian dan minyak nabati lainnya, permintaan impor dari China untuk komoditas ini akan tumbuh dengan lamban. Sementara itu, masuknya spanyol ke MEE menjadikan kawasan tersebut mempunyai kapasitas produksi minyak zaitun dan minyak kedelai yang besar sehingga akan berpengaruh terhadap impor minyak nabati lainnya. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa dari sisi permintaan, pertumbuhan permintaan untuk ekspor minyak sawit akan bergerak dengan lamban.
0 comments:
Post a Comment