May 02, 2014

TUGAS PEMASARAN PERTANIAN

“Potensi dan Permasalahan Pengembangan PIR-BUN dan Perdagangan Minyak Kelapa Sawit”

PENDAHULUAN

Pada awalnya perkembangan di permulaan tahun 1900-an, perkebunan kelapa sawit diusahakan dengan berorientasi pada pasar ekspor. Dalam pengembangan selanjutnya, pada setiap REPelita, tujuan pembangunan perkebunan dirumuskan untuk mencapai

a. Peningkatan produksi untuk peningkatan devisa, pemenuhan kebutuhan industry dalam negeri, serta peningkatan pendapatan petani dan produsen;

b. Penciptaan dan pemerataan kesempatan kerja serta pemerataan pendapatan;

c. Pemeliharaan dan peningkatan produktivitas dan kelestarian sumber daya alam dan lingkungan.

Sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut diatas, pada tahun 1978 pemerintah mengambil kebijaksanaan mengalokasikan sebagian besar produksi minyak sawit ke pasar domestic karena adanya kekurangan penawaran minyak nabati yang disebabkan oleh turunnya produksi kelapa. Demikian pula pemerintahkan mengembangkan pola perusahaan Inti rakyat Perkebunan (PIR-BUN) dalam rangka mencapai tujuan penciptaan kesempatan kerja, peningkatatan pendapatan dan kesejahteraan petani. Saat ini, dimana penerimaan devisa dari sector migas menurun, minyak sawit dicanangkan sebagai salah satu primadona komoditas ekspor pertanian. Dari ketiga contoh diatas, nampaknya kebijaksanaan-kebijaksanaan yang akan diambil pemerintah dalam pengembangan perkebunan kelapa sawit di masa dating masih dirancang dalam rangka pencapaian tujuan-tujuan tersebut diatas.

Aktivitas pengembangan perkebunan kelapa sawit sampai pada kegiatan perdagangannya, dapat dipandang sebagai suatu system yang utuh yang terdiri dari 3 subsistem :

a. Subsistem usaha tani;

b. Subsistem agro industry;

c. Subsistem perdagangan.

Jurnal ini akan membahas dua permasalahan sentral dari ketiga subsistem tersebut, yaitu

a. Pengembangan produksi sawit melalui pola PIR; dan

b. Pengembangan perdagangan domestic dan internasional minyak sawit.

SISTEM PRODUKSI KELAPA SAWIT

Pengembangan Luas Areal dan Produksi

Total areal luas perkebunan kelapa sawit di Indonesia meningkat dengan cepat dalam 18 tahun terakhir, yaitu hamper 6 kali lipat. Pada tahun 1967 total luas areal sebesar 105 ribu hektar dengann laju pertumbuhan 10,2 % per tahun, luas areal kelapa sawit pada tahun 1985 menjadi 605 ribu hektar dilihat dari status pengusahaannya, PTP menguasai lebih dari 50% dari total luas areal. Pangsa (share) areal perkebunan rakyat terhadap total luas perkebunan kelapa sawit meningkat dengan sangat tajam. Pangsa tersebut tahun 1979 baru sebesar 1,2 %, lalu meningkat menjadi 19,8 % pada tahun 1985. Keadaan sebaliknya terjadi pada perkebunan besar swasta, laju pertumbuhan menunjukkan gejala yang menurun dari pelita ke pelita, walaupun secara absolute luas areal meningkat, yaitu 40.000 Ha pada tahun 1967 menjadi 143.000 Ha tahun 1985. Pada pelita III, laju pertumbuhannya sebesar 7,1 % per tahun, yakni setengah dari laju pertumbuhan yang pernah dicapai pada pelita I, yaitu 14,4 %.

Dari seluruh areal kelapa sawit di Indonesia tahun tersebut, 58 % merupakan areal yang sudah menghasilkan (produktif), sisanya 41 % adalah areal yang belum menghasilkan (tanaman muda) dan 1 % areal yang sudah disebabkan adanya program perluasan areal kelapa sawit dengan skala besar. Salah satu bentuk program investasi penanaman kelapa sawit yang dilakukan pemerintah adalah pola PIR yang dimulai pada tahun 1979. Pada pelita III peremajaan dan perluasan areal kelapa sawit di Indonesia mencapai 289.500 Ha. Peremajaan dan perluasan areal padaperkebunan rakyat sebesar 35.100 Ha (12,1 %), PTP sebesar 194.700 Ha (69,2 %), dan 59.700 Ha (20,6 %) pada perkebunan besar swasta.

Berdasarkan luas areal kelapa sawit tahun 1985, yaitu 597.400 Ha, sekitar 94 % berada di Sumatera, sisanya berada diluar sumatera (Jawa Barat, Kalimantan, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya). Sumatera Utara merupakan provinsi yang mempunyai total luas areal kelapa sawit terbesar, yaitu 67 % dari total area pada tahun 1985. Demikian juga untuk areal tanaman muda dan produktif, Sumatera Utara mendominasi kedua jenis areal tersebut, yaitu sebesar 51% dari total areal tanaman muda, dan 79 % daro total areal tanaman produktif. Propinsi lain di Sumatera yang mempunyai luas areal kelapa sawit yang cukup berarti adalah aceh (6,7%), Sumatera Barat (1,7%), Raiu ( 10,6%), Sumatera Selatan (4,9%), dan lampung (1,8%).

Table 1. Luas areal perkebunan kelapa sawit menurut status pengusahaan, Indonesia, 1967 - 1986

Tahun

Perkebunan Rakyat

Perkebunan Besar Negara

Perkebunan Besar Swasta (Ha)

Total

1967

-

65.573

40.235

105.808

1968

-

79.209

40.451

119.660

1969

-

84.640

34.880

118.935

1970

-

86.640

46.658

133.298

1971

-

91.153

47.950

139.103

1972

-

96.562

55.497

152.059

1973

-

98.033

59.747

157.780

1974

-

117.513

64.223

181.736

1975

-

120.940

67.885

188.825

1976

-

141.333

69.772

211.105

1977

-

143.775

71.626

220.401

1978

-

163.465

86.651

250.461

1979

3.125

176.408

81.406

260.939

1980

6.175

199.538

88.847

294.560

1981

5.695

213.264

100.008

318.967

1982

8.537

224.440

96.924

329.901

1983

37.043

261.339

107.264

405.646

1984

40.552

340.511

130.958

512.021

1985

118.564

335.195

143.603

597.362

1986*)

129.904

331.336

144.182

605.422

Laju

 

Pertumbuhan

Pelita I

 

3,7

14,4

7,3

Pelita II

 

8,6

7,8

8,3

Pelita III

85,6

10,3

7,1

11,7

(1967 – 85)

70,3

9,4

7,3

10,2

Tabel 2. Luas areal kelapa sawit menurut jenis pengusahaan dan kawasan, 1985

Jenis Pengusahaan

Sumatera

Luar Sumatera

Indonesia

(Ha)

(%)

(Ha)

(%)

(Ha)

(%)

Perkebunan Rakyat

97.436

82,2

21.128

17,8

118.564

100

Perkebunan Besar Swasta

138.900

96,7

4.703

3,3

143.603

100

Perkebunan Besar Negara

324.521

96,8

10.674

3,2

335.195

100

Total

560.857

93,3

36.505

6,1

597.362

100

Dari seluruh areal kelapa sawit di Indonesia tahun tersebut, 58% merupakan areal yang sudah menghasilkan (produktif). Sisanya 41% adalah areal yang belum menghasilkan (tanaman muda) dan 1% areal tanaman yang sudah rusak/tua. Dilihat dari status pengusahaannya, PTP dan Perkebunan Besar Swasta mempunyai areal produktif sekitar 61,2 % sampai 69,3 % dari total areal tanam. Sebaliknya pada perkebunan rakyat, luas areal produktif hanya 24,0 %. Keadaan ini disebabkan karenameningkatnya areal tanaman muda yang ditanam mulai tahun 1981/1982 dan umur panen kelapa sawit sekjtar 4 – 5 tahun, sehingga sampai tahun 1985 perkebunan rakyat banyak yang belum menghasilkan.

Perkembangan produksi Minyak Sawit

Sejalan dengan perkembangan luas areal, produksi minyak sawit mengalami peningkatan yang besar. Total produksi minyak sawit meningkat 7,5 lipat, sebesar 168 ribu ton pada tahun 1967 menjadi 1,2 juta ton tahun 1985. Selama 18 tahun

Table 3. Produksi minyak sawit menurut status pengusahaan, Indonesia, 1967 – 1986

Tahun

Perkebunan Rakyat

Perkebunan Besar Negara (ton)

Perkebunan Besar Swasta

Total

1967

-

108.514

59.155

167.699

1968

-

122.369

59.075

181.444

1969

-

128.561

60.240

188.801

1970

-

147.003

69.824

216.827

1971

-

170.304

79.653

249.957

1972

-

189.261

80.203

269.464

1973

-

207.448

82.229

289.677

1974

-

243.641

104.035

347.696

1975

-

271.171

126.082

397.253

1976

-

286.096

144.910

431.006

1977

-

336.891

120.716

456.940

1978

-

336.224

165.060

501.951

1979

760

438.756

201.724

641.240

1980

720

498.908

221.544

721.172

1981

1.045

533.399

265.616

800.060

1982

2.955

598.653

285.212

886.820

1983

3.454

710.430

269.102

982.978

1984

4.031

814.715

329.444

1 148.190

1985

43.016

867.973

342.441

1 253.430

1986*)

89.775

986.828

375.807

1 452.410

Laju

 

Pertumbuhan

Pelita I

 

12,7

8,1

11,3

Pelita II

8,4

12,2

9,6

 

Pelita III

46,6

12,8

7,5

11,3

(1967 – 85)

95,9

12,2

10,2

11,8

terakhir laju pertumbuhan total produksi sebesar 11,8% per tahun. Lalu pertumbuhan terendah terjadi pada Pelita II yaitu 9,6 % dan kemudian meningkat pada Pelita III sebesar 11,3 % per tahun, sama dengan yang telah dicapai pada Pelita I. keadaan ini juga terjadi pada PTP. Lalu pertumbuhan produksi di PTP sebesar 8,4 % per tahun pada Pelita II, lebih rendah daripada laju pertumbuhan pada Pelita I dan Pelita III, masing-masing sebesar 12,7 % dan 12,8 % per tahun. Sebaliknya pada perkebunan besar swasta, lau pertumbuhan pada pelita III sebesar 7,5 % per tahun, lebih rendah dari yang pernah di capai pada Pelita II (12,2%).

Rencana Pengembangan Areal dan Produksi pada Pelita V

Luas areal dan produksi minyak sawit dalam Pelita V masih akan meningkat denga pesat. Direktotar Jenderal Perkebunan sudah menggariskan kebijaksanaan bahwa minyak sawit, bersama-sama dengan coklat, lada, kapas, tembakau dan serat-seratan merupakan komoditas yang akan di pacu pertumbuhan produksinya.

Perkembangan luas areal dari peremajaan dan perluasan, rehabilitasi dan intensifikasi perkebunan minyak sawit masih akan berlangsung dengan cukup tinggi. Untuk dua tahun terakhir Pelita IV (1987 dan 1988) target perluasan dan peremajaan areal tersebut sebesar 187.000 Ha, sedangkan selama Pelita V (1989 – 1993) target tersebut mencapai total 290.000 Ha.

Table 4. target luas areal peremajaan dan perluasan perkebunan kelapa sawit dan produksi minyak sawit, Indonesia, 1987 – 1993

Tahun

Target

Perluasan areal peremajaan (1000 Ha)

Produksi (1000 ton)

1987

76,0

1.698

1988

111,2

2.048

1989

93,6

2.388

1990

80,7

2.727

1991

59,4

3.218

1992

40,1

3.680

1993

16,0

4.074

Dengan program peremajaan dan perluasan areal yang cukup besar tersebut, Direktur Jenderal Perkebunan memproyeksikan pada pelita IV pertumbuhan produksi akan mencapai 15,6% per tahun, dan pada Pelita V sebesar 11,2 % per tahun. Data target produksi dan perluasan areal dapat dilihat dalam table 4.

PENGEMBANGAN PIR-BUN KELAPA SAWIT

Perkembangan Luas Areal dan Penyebaran Kebun

Program PIR terdiri dari kebun inti dan plasma. Sesuai dengan pembagian di atas maka kebun inti dimasukkan ke dalam usaha perkebunan Negara (PTP) dan plasma dimasukkan ke dalam perkebunan rakyat. Berdasarkan table 1 dan table 5, terlihat bahwa presentase terbesar dari luas areal kebun rakyat adalah kebun plasma dari program PIR. Pada awal pembangunan PIR (tahum 1979), luas seluruh areal perkebunan rakyat sebesar 3.125 Ha, naik menjadi 6.175 Ha pada tahun 1980.

Tabel 5. Target dan realisasi luas areal tanam kelapa sawit pada inti dan plasma PIR-BUN, Indonesia 1977/78 – 1987/88.

Tahun

Inti

Plasma

Target

Realisasi

Kumulatif

Target

Realisasi

Kumulatif

1977/78

1.000

1.787

1.787

-

-

-

1978/79

2.000

1.988

3.775

-

-

-

1979/80

6.117

5.443

9.218

-

-

-

1980/81

864

880

10.098

1.000

961

961

1981/82

1.420

1.655

11.753

11.120

9.352

10.313

1982/83

3.700

3.358

15.111

23.145

17.419

27.732\\\\\\\\\\\\\\\\\

1983/84

4.050

2.604

17.715

20.807

19.648

47.380

1984/85

5.000

3.717

21.432

26.280

20.901

68.281

1985/86

12.150

11.392

32.824

24.084

25.013

93.294

1986/87

6.950

10.004

42.828

31.903

16.524

109.818

1987/88

3.320

1.029

43.857

19.447

2.479

112.297

46.571

43.857

 

157.788

112.297

 

Kenaikan ini adalah sebagai akibat pembangunan plasma sebanyak 961 Ha atau sebesar 15,6 % dari seluruh perkebunan rakyat. Pada tahun 1986 luas seluruh plasma telah mencapai 109.818 Ha atau sebanyak 84,5 % dari seluruh perkebunan rakyat. Dengan demikian jelas bahwa pertambahan luas areal perkebunan rakyat kelapa sawit adalah akibat pertambahan luas plasma PIR. Selebihnya yaitu 15,5 % dari perkebunan rakyat adalah perkebunan rakyat lainnya yang dapat berupa pola Unit Pelaksana Proyek (UPP), atau pla swadaya masyarakat.

Sesuai dengan ketentuan yang berlaku, pembangunan plasma juga di barengi dengan pembangunan inti. Berdasarkan table 5, terlihat bahwa pembangunan inti dilakukan terlebih dahulu dari pembangunan plasma. Secara kumulatif perbandingan antara pembangunan inti dengan plasma tidak menentu. Sesuai dengan perkembangan perkebunan rakyat, sebagian besar PIR sawit dikembangkan di provinsi-provinsi di Sumatera. Di luar Sumatera PIR sawit di bangun di Jawa Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Irian Jaya.

Dampak Perkembangan Wilayah

Di samping dua tujuan utama yaitu kesejahteraan petani peserta dan peningkatan produksi yang disebut diatas, pembangunanm perkebunan denga pola PIR juga mempunyai implikasi pembangunan wilayah. Dalam arti bahwa proyek yang bersangkutan selain mampu mengalihkan tekhnologi maju sehingga dapat meningkatkan produktivitas lahan beserta tanamannya, juga diharapkan mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada para peserta dan dapat memberikan dampak pelipatgandaan (multiflier effect) kepada bagian-bagian masyarakat diluar proyek maupun kepada sector-sektor kegiatan ekonomi lainnya di dalam wilayah dimana proyek itu berada.

Berdasarkan pengamatan di tiga kasus PIR-BUN sawit tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa pada umumnya terjadi peningkatan aktivitas pasar terdekat terutama pada saat pembangunan fisik PIR tersebut dilakukan. Dampak perubahan tekhnologi bidang pertanian terhadap daerah sekitarnya belum terjadi. Dampak yang diharapkan adalah system budidaya bentuk perkebunan ini akan ditiru oleh masyarakat sekitarnya. Hal ini tidak terjadi karena begitu banyaknya pembatas pada petani seperti dinamika inovasi yang rendah dan juga factor modal.

Dampak wilayah lainnya adalah PTP memperoleh eksternalitas positif dari sarana dan prasarana yang sebelumnya sudah tersedia sebelum pengembangan PIR tersebut dilakukan, seperti penggunaan jalan (transportasi) yang tersedia oleh perusahaan atau instansi lain.

Teknik dan Tekhnologi Budidaya

Teknik dan tekhnologi yang dimaksud melipuri penggunaan bibit serta jenis varietas yang digunakan, penggunaan current input, pemeliharaan tanaman yang diterapkan serta panen. Pemeliharaan yang meliputi menyiang, keadaan lalang, dongkelan, parit, pemangkasan, pemupukan, perawatan jalan, pemberantasan hama dan penyakit serta teknik panen, telah mengikuti system yang dilakukan oleh PTP.

Penerapan teknologi budidaya tanaman dengan demikina sudah berjalan sangat baik sesuai dengan teknologi yang lazim digunakan di PTP kebun kelapa sawit umunya. Sehingga pengetahuan penerapan teknologi budidaya tanaman bukan merupakan penghalang dalam pengembangan komoditas kelapa sawit dengan asumsi bahwa factor social tenaga kerja dapat dikendalikan.

Penggunaan Tenaga Kerja

Di PIR kelapa sawit kasus I, tenaga kerja efektif tersedia dalam tiap rumah tangga 4,78 jiwa atau setara dengan 2,99 HKP per hari setelah dikurangi untuk kegiatan rumah tangga. Jumlah tenaga kerja total yang tersedia terdiri dari 433 HKP tenaga kerja pria, 201 HKP dari wanita, dan 156 HKP dari anak.

Kebutuhan tenaga kerja untuk perusahaan tanaman sawit, mulai dari tahun ke-0 sampai tahun ke-6 berbeda-beda. Setelah tahun ke-6 kebutuhan tersebut relative tetap. Kebutuhan tenaga kerja yang paling tinggi pada tahun ke-0 kemudian menurun hingga tahun ke-3 dan meningkat lagi tahun ke-4, kemudian menurun lagi sampai tahun ke-6. Berdasarkan perhitungan sederhana tenaga ini masih mampu mengelola kebun sawit 2 Ha lagi, sehingga setiap kepala keluarga akan mampu mengelola 4,5 Ha. Luasan ini sesuai dengan yang di alokasikan oleh FELDA di Malaysia, dimana tiap kepala keluarga petani mendapat alokasi kebun sawit seluas 4 Ha.

Produktivitas

Tingkat produksi per hektar yang dihasilkan oleh kebun inti di PIR pada kasus II lebih tinggi dibandingkan dengan yang di hasilkan oleh plasmanya. Namun tak terlihat perbedaan yang jauh antara produksi per hektar yang dihasilkan kebun inti kasus II dan kebun plasma kasus I. bila dianggap bahwa kondisi sumberdaya sama di kedua tempat tersebut, maka dapat dikatakan bahwa tingkat penyerapan teknik dan tekhnologi sebagai fungsi transfer teknik dan teknologi lebih berhasil di plasma kasus I daripada plasma kasus II. Fluktuasi produksi sebagai factor iklim nyata dikedua lokasi tersebut, tetapi dengan trend yang membaik. Rata-rata tyingkat produksi ini dapat mencapai perkiraan yang sebelumnya dilakukan, Currebt input yang digunakan sama dengan rekomendasi di inti, sedangkan kebutuhan tenaga kerja tersedia dari peserta. Harga produksi tidak mempengaruhi factor produksi atau teknik dan teknologi budiday (pada jangka pendek).

Pendapatan Petani

Sumber pendapatan petani plasma di PIR kasus I dapat dibedakan atas 4 bentuk, yaitu sebagai buruh harian di kebun, pendapatan dari hasil penjualan kelapa sawit, usahatani lahan pangan dan pekarangan, serta usaha jasa lainnya. Sumbangan pendapatan yang berarti adalah dari dua bentuk kegiatan pertama. Lahan pangan dan pekarangan masih diusahakan seadanya dan hasilnya tidak cukup berarti. Belum ada penerimaan tunai petani dari usaha ini. Sedangkan usaha jasa lainnya, seperti berdagang hanya dilakukan beberapa keluarga saja.

Table 6. pendapatan total petani plasma dan sumber pendapatannya, agustus 1987

Penerimaan rata-rata atas upah kerja (buruh)

Rp 13.093.00

Penerimaan bersih rata-rata dari penjualan hasil

Rp 193.058,81,-

Penerimaan dari usaha pangan dan pekarangan

Rp -

Pendapatan

Rp 206.151,81,-

Penerimaan bersih rata-rata petani dari hasil penjualan hasil TBS kelapa sawit sebesar Rp. 193.058,81 selama bulan agustus 1987. Perincian penerimaan ini berupa penerimaan kotor. Biaya kebun langsung dan tidak langsung, dapat dilihat pada table 7 berikut. Berdasarkan tabel 7 tersebut terlihat bahwa hanya sebesar 61,2 % dari hasil penjualan yang diterima oleh petani. Sebesar 33,7 % (Rp 99.804,5,-) digunakan untuk membayar biaya usaha tani langsung dan sisanya biaya tidak langsung. Bila tidak dilakukan biaya pengelolaan yang lebih baik melalui system manajemennya, maka biaya usahatani dapat ditekan lebih rendah sehingga memperbesar penerimaan petani bersih.

Tabel 7. Penerimaan kotor, biaya kebun dan penerimaan bersih petani melalui pengolahan oleh KUD per bulan

Penerimaan kotor dari hasil

Penjualan…. 3879.32 Kg a Rp 76.30,- = Rp 295992.16 (100%)

Biaya usahatani kebun

1. Biaya Langsung

a. Biaya pemeliharaan

b. Pembelian Pupuk

c. Upah Panen

d. Biaya Angkut Panen, TBS, Pupuk

Rp 99804.55 (33.7%)

20718.70

40000

21349,71

17736.14

2. Biaya Tidak langsung

a. Panjar Jembatan

b. Tunjangan Manager

c. Alat-alat Kantor

d. Sumbangan

e. Biaya Tamu

f. Simpanan Wajib

g. Perjalanan

h. Administrasi

i. Krikil

j. Keamanan

3128.8 (1.1%)

200.00

110.40

136.80

300.00

22.10

1000.00

674.6

399.9

155.00

190.00

Penerimaan bersih petani hasil penjualan

Rp 102933.35 (38.8%)

Rp 193058.81 (61.2%)

Dari gambaran perkembangan hasil penjualan TBS, biaya usahatani dan penerimaan bersih total serta penerimaan bersih per KK, dapat dilihat bahwa biaya usahatani tetap meningkat berbarengan meningkatnya hasil penjualan sehingga penerimaan petani relative hanya meningkat sedikit.

Pengelolaan dan pemasaran hasil

Pengelolaan hasil

TBS dari hasil permanennya selanjutnya diangkut dengan pikulan ke tempat pemikulan dan kemudian diangkut dengan truk ke pabrik untuk dip roses menjadi minyak dan inti sawit. Mutu minyak dan inti sawit yang dihasilkan dari pengolah TBS yang kandungan FFA maksimum 2,5 % dalam penanganannya harus memenuhi persyaratan maksimum sebagai berikut. Untuk minyak sawit kenaikan kandungan FFA selama prosessing tidak lebih dari 0,3 %, kadar air 0,08 %, kandungan kotor 0,01 %. Sedang untuk inti sawit, maksimum kadar air inti sawit kering 7,0 %, shell and dirt in bagged kernes 2,75 %, inti sawit pecah 10,0 % dan inti sawit putih 50,0 %. Keragaan presentase ini akan mempengaruhi mutu minyak dan inti yang dihasilkan. Sementara mutu tersebut sangat berpengaruh dalam pemasaran (ekspor). Berikut ini gambaran mengenai jenis-jenis mutu minyak sawit di pasaran internasional.

Tabel 8. Jenis mutu minyak sawit dipasaran internasional.

Spesifikasi

Mutu

Regular Oil

SPB*

SQ**

Lotox

Asam Lemak Bebsa (%)

5

2.5

2

3

Air (%)

0.10

0.10

0.10

0.10

Kotoran (%)

0.10

0.10

0.10

0.02

Bilangan Peroksida (%)

10

2

-

3

Bilangan Lonida

45 - 56

53 – 1.5

-

-

Logam Besi (PPM)

10

10

-

5

Logam Tembaga (PPM)

0.5

0.5

-

0.5

Carotine (PPM)

500 - 700

500

-

-

Tochoperol (PPM)

400 - 600

800

-

-

Bilangan Anisidin (Meg)

-

-

-

4

Totax (Meg)

-

-

-

15

Pemucatan : - Merah

3.5

2

-

-

- Kuning

35

20

-

-

*) special prine bleanch, **) special quality

Biaya pengolahan dari minyak dan inti sawit pada pabrik di inti (PTP) juga mempengaruhi harga TBD petani peserta. Biaya olah minyak dan inti per kg di pabrik PTP, periode januari – juni 1986 adalag sebagai berikut :

Kompnen Biaya

Minyak

Inti

a. Biaya Olah Langsung

b. Penyusutan

c. Biaya Penjualan

d. Biaya Administrasi

e. pengangkutan

35.50

23.50

15.60

23.50

-

35.50

23.50

-

-

60

Jumlah

Rp 98.10,-

Rp 119,-

Pemasaran Hasil

Berdasarkan perjanjian, setiap harus menjual hasil ke inti (PTP) yang menangani pembangunan kebun plasma tersebut. Pabrik pengolahan kelapa sawit selain yang diusahakan oleh swasta. Dengan demikian muncul alternative penjualan TBS petani plasma, bila tidak terikat oleh perjanjian. KUD atas nama petani berusaha menjual hasil pada harga yang paling tinggi sehingga diperoleh penerimaan yang tertinggi.

Perkembangan tempat penjualan antara ke pabrik PTP dan swasta serta harga penerimaan petani dari setiap tempat penjualan, disajikan pada tabel 9.

Tabel 9. Perkembangan tempat tujuan penjualan dan harga kelapa sawit plasma Maret 1985 – November 1987.

Bulan dan Tahun

Jumlah produksi (ton / TBS)

Harga (ton / TBS)

inti

Swasta

Maret (1985)

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

289

408

417

524

560

616

682

542

509

622

53,49

52,75

52,15

51,15

48,12

48,79

41,25

39,49

31,86

34,61

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

Januari (1986)

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

Desember

328

638

1258

728

1340

1050

1253

1414

1707

1438

935

1172

32,38

36,04

29,42

18,11

15,02

19,17

17,41

15,00

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

-

48,0

48,0

43,50

46,25

68,0

Januar (1987)

Februari

Maret

April

Mei

Juni

Juli

Agustus

September

Oktober

November

514

765

888

1193

1510

1468

1940

1873

2915

1887

78

-

-

-

-

-

75,97

76,30

77,91

74,09

70,63

69,59

73,0

88,0

89,0

108,0

89,50

-

-

-

78,00

82,50

-

PERDAGANGAN DOMESTIK DAN INTERNASIOANL MINYAK SAWIT

Perkembangan Pasar Domestik Minyak Sawit

Sumber utama minyak nabati Indonesia adalah minyak kelapa dan minyak sawit. Sampai akhir decade 1970-an sebagian besar pemenuhan kebutuhan minyak nabati dalam negeri dipenuhi oleh minyak kelapa. Sementara itu orientasi pengusahaan minyak sawit adalah pasar ekspor.

Pada tahun 1985 bagian terbesar (86%) minyak sawit yang dipasarkan di dalam negeri digunakan sebagai input untuk pabrik minyak goring. Hanya 14% saja sebagai bahan baku untuk pembuatan margarine, sabun cuci, dan sabun mandi. Sementara itu dari total perkiraan konsumsi kelapa tahun 1985 sebesar 1,65 juta ton kopra ekivalen, 36,5 % di konsumsi sebagai kelapa segar, 41,5 % sebagai bahan baku minyak goring, 16,1 % untuk minyak kelentik, dan 5,8% bahan baku margarine, sabun cuci dan sabun mandi.

Keragaman Ekspor Minyak Sawit Indonesia

Karena kebijaksanaan pemerintah tersebut diatas, pertumbuhan ekspor minyak kelapa sawit Indonesia mengalami stagnasi dan fluktuasi yang besar, walaupun produksi meningkat dengan percepatan yang mengesankan. Selam tahun 1967 – 1985, produksi minyak kelapa sawit meningkat dengan pertumbuhan 11,8 % per tahun, dan dalam pelita IV diperkirakan meningkat lagi dengan kecepatan 15,6 % pertahun. Bersamaan dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan penerimaan ekspor dari non migas, harga minyak sawit dunia mulai menurun. Harga komoditas ini pada tahun 1985 sebesar $ 551 per ton dan pada tahun 1986 turun menjadi $ 257 per ton.

Pasar tradisional minyak kelapa sawit Indonesia adalah Negara Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE). Pada pertengahan tahun 1970-an, 32 % ekspor minyak sawit dikapalkan ke Negara ini. Pangsa ini meningkat menjadi 50% pada periode 1978 – 1980, kemudian meningkat lagi menjadi 84 % pada periode 1981 – 1983. Sebaliknya pangsa ekspor komoditas ini ke Amerika Serikat dan ke Jepang menurun terus.

Tabel 10. Produksi dan ekspor minyak sawit Indonesia.

Tahun

Produksi

Ekspor

% Ekspor terhadap produksi

1971

1972

1973

1974

1975

1976

1977

1978

1979

1980

1981

1982

1983

1984

1985

19861)

248

270

290

351

411

434

497

532

641

702

752

884

983

1.148

1.253

1.428

218

241

269

292

386

406

405

412

351

503

196

260

346

128

519

425

89

89

93

83

94

94

81

77

55

72

26

29

35

11

41

30

1) sampai dengan Desember 1986.

Pasar lainnya yang mempunyai potensi permintaan cukup besar adalah India, Pakistan, Kenya, dan Negara-negara Timur Tengah. Namun pemanfaatan pasar-pasar tersebut sebagai pengimpor minyak sawit Indonesia masih belum mapan. Data tahun 1985 – 86 (s/d juni) menunjukkan 75 % minyak sawit Indonesia di ekspor ke 5 negara MEE ( Perancis, Inggris, Italia, Belanda, dan Jerman Barat), sementara itu hanya 2 % dan 1 % saja ke Amerika Serikat dan Jepang.

Tabel 11. Ekspor minyak sawit Indonesia berdasarkan Negara tujuan.

Tahun

Volum ekspor /th (1000 ton)

Negara Tujuan (%)

MEE 1)

Amerika Serikat

Jepang

1975 - 77

391

32

11

7

1978 - 80

422

50

3

2

1981 - 83

267

84

1

2

1984 - 86

353

75

2

1

Pangsa minyak sawit terhadap nilai ekspor pertanian berfluktuasi karena adanya fluktuasi volume dan harga ekspor. Sampai tahun 1973 minyak sawit merupakan penyumbang ketiga terhadap nilai ekspor komoditas pertanian, setelah karet dan kopi, tahun 1974 dan 1985 menjadi nomor dua. Sejak tahun 1976 kembali menjadi nomor tiga dengan pangsa yang berfluktuasi dan cenderung menurun. Pangsa minyak sawit terhadap total penerimaan ekspor Indonesia selama 1971 – 1985 cenderung menurun. Sampai 1975, pangsa tersebut sebesar 2,4 %, kemudian menurun menjadi 1,0 % tahun 1980 dan hanya 0,4 % tahun 1984.

Tabel 12. Pangsa minyak sawit terhadap penerimaan ekspor, 1971 – 1985

Tahun

Nilai Ekspor M. Sawit (juta $US)

Pangsa trehadap nilai ekspor (%)

Komoditas Pertanian 1)

Total

1971

1972

1973

1974

1975

1976

1977

1978

1979

1980

1981

1982

1983

1984

1985

51,87

45,72

77,25

174,43

163,16

147,69

198,66

208,85

264,72

223,43

82,87

83,64

122,08

78,15

186,77

12,34

11,10

11,38

19,41

20,97

13,19

11,48

12,17

12,01

9,77

5,18

6,42

7,07

3,87

10,14

3,83

2,52

2,34

2,39

2,41

1,72

1,84

1,88

1,73

1,03

0,37

0,44

0,65

0,37

0,99

Keterkaitan Pasar Internasional Minyak Nabati

Paling sedikit ada 13 minyak nabati dan hewani utama yang mempunyai keterikatan yang erat satu sama lainnya, baik ditinjau dari segi teknis (tingkat substitusi) ataupun dari segi ekonmis atau harga. Korelasi antar harga-harga minyak tersebut di pasar internasional cukup tinggi, sebagian besar lebih dari 0.90 (LPEM-UI, 1987). Tingkat subtitusi teknis yang tinggi antar minyak-minyak tersebut makin meningkat karena adanya kemajuan teknologi pengolahan., walaupun dalam jangka yang sangat pendek tidak tertutup kemungkinan adanya hubungan yang komplementer. Hal ini dapat disebabkan adanya komposis campuran yang spesifik antara minyak-minyak tertentu dalam suatu industry pengolahan makanan atau sabun sehingga respon permintaan dari suatu jenis minyak atas perubahan harga minyak yang lain yang termasuk ke dalam campuran tadi dalam jangka sangat pendek akan menunjukkan sifat hubungan yang komplementer. Hal ini dapat terjadi karena secara umum akan ada kesenjangan waktu antara respon perubahan teknologi terhadap perubahan harga.

Dengan adanya kemajuan teknologi pengolahan, transportasi, dan informasi pasar, pasar minyak nabati makkin teritegrasi. Sebagai contoh, pada tahun 1960-an, dilaporkan adanya keterpisahan pasar yang nyata di pasar MEE antara minyak kelapa dengan minyak-minyak kedelai, bunga matahari, ikan dan sawit. Namun, pada periode 1971-1982 keterpisahan pasar dari komoditas-komoditas tersebut sudah tidak Nampak lagi.

Posisi dan Perdagangan Minyak Sawit Dalam Perekonomian Minyak Nabati Dunia.

Dilihat dari volume produksi dan ekspor dunia, minyak sawit menempati urutan kedua setelah minyak kedelai. Pada tahun 1985, 10.4 % dari total produksi minyak nabati dan hewani dunia berupa minyak sawit. Dari total produksi minyak sawit dunia 7,6 juta ton, sebesar 4,1 juta ton (54%) di ekspor. Sementara itu dari total produksi minyak kedelai dunia sebesar 14,2 juta ton, hanya 6,4 juta ton (45 %) yang dialokasikan untuk ekspor. Pada tahun 1985 pangsa minyak sawit trehadap total ekspor minyak nabati dan hewani dunia pada tahun tersebut masing-masing sebesar 73,7 juta ton dan 23,5 juta ton.

Total konsumsi dan konsumsi per kapita minyak nabati da hewani di Negara-negara maju jauh lebih besar di bandingkan dengan hal tersebut di Negara-negara berkembang.

Tabel 13. Produksi, konsumsi, ekspor dan impor minyak sawit beberapa Negara utama.

Negara

Volume (‘000 ton)

%

Negara

Volume (‘000 ton)

%

Produksi

Malaysia

Indonesia

Nigeria

Zaire

Columbia

PNG

Dunia

3.817

1.200

550

169

132

120

6.751

56,5

17,8

8,1

2,5

2,0

1,8

100,0

Konsumsi

India

Nigeria

Indonesia

Malaysia

Pakistan

China

Dunia

728

600

593

504

477

263

6.500

11,2

9,2

9,1

7,8

7,3

4,0

100,0

Ekspor

Malaysia

Singapura

Indonesia

Belanda

PNG

Ivory Loast

Dunia

3.256

1.000

652

136

113

56

5.274

61,7

19,0

12,4

2,6

2,2

1,1

100,0

Impor

Singapura

Belanda

India

Pakistan

Soviet

Irak

Dunia

1.020

772

728

487

300

180

5.434

18,8

14,2

13,4

9,0

5,5

3,3

100,0

Prospek Jangka Pendek Perdagangan Minyak Sawit Indonesia

Yang dimaksud dengan jangka pendek yaitu kurun waktu kurang dari 5 tahun. Dari sisi penawaran, apabila keadaan cuaca normal, dalam kurun waktu tersebut produksi minyak sawit dapat di ramalkan dengan cukup akurat. Dalam kurun waktu ini produksi akan di pengaruhi oleh kebijaksanaan perluasan dan peremajaan serta teknologi berproduksi yang telah di terapkan. Sementara itu elastisitas penawaran terhadap harga dalam jangka pendek sangat tidak elastic sehingga perubahan harga tidak akan nyata berpengaruh terhadap produksi. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut diatas dapat diramalkan produksi minyak sawit dalam jangka pendek akan tumbuh dengan pesat. Untuk kurun waktu 1980 – 1990, FAO meramalkan produksi minyak sawit dunia akan meningkat dengan 7,2 % per tahun.

Direktorat jenderal perkebunan memproyeksikan pertumbuhan produksi minyak sawit Indonesia sebesar 15,6 % per tahun selama Pelita IV dan 11,2 % per tahun selama Pelita V. laporan lainnya menyebutkan selama tahun 1986 – 1992 produksi minyak sawit dunia akan naik sebesar 8,2 % per tahun dan peningkatan produksi Indonesia sebesar 12,5 % per tahun. Dengan diketahuinya informasi ini dapat diharapkan penawaran ekspor minyak sawit dari Indonesia akan tumbuh dengan kecepatan yang cukup tinggi.

Prospek Jangka Panjang Perdagangan Minyak Sawit Indonesia.

Dalam jangka panjang dapat diharapkan baik sisi penawaran ataupun sisi permintaan akan berpengaruh dan melakukan penyesuaian terhadap keadaan pasar minyak nabati. Karena itu kedua kekuatan pasar ini akan di kaji lebih lanjut.

Sisi Penawaran

Dalam tahun 1980-an harga absolute dan riil komoditas pertanian menurun terus. Indeks harga komoditas pertanian pada tahun 1980 sebesar 105 turun menjadi 71 pada tahun 1986. Indeks harga minyak nabati dan hewani juga demikian, dari 96 tahun 1980 menjadi 50 pada tahun 1986. Menghadapi kenyataan jatuhnya harga yang tajam tersebut, penyesesuaian dari sisi penawaran di ramalkan akan terjadi berupa pertumbuhan produksi komoditas tersebut yang relative lambat, sehingga harga bias meningkat kembali. Sejalan dengan konsep self correcting mechanism ini, Bank Dunia meramalkan adanya kenaikan harga riil komoditas pertanian pada akhir 1980-an sampai awal 1990.

Sisi Permintaan

Dari sisi permintaan, keadaan sebaliknya dari penawaran diramalkan akan terjadi. Pertumbuhan permintaan impor minyak nabati dunia akan meningkta dengan lamban. Produksi biji-bijian berminyak di Uni Soviet dilaporkan akan meningkat dan Pakistan sedang berusaha berswasembada dalam biji-bijian berminyak. Dengan adanya peningkatan produksi biji-bijian dan minyak nabati lainnya, permintaan impor dari China untuk komoditas ini akan tumbuh dengan lamban. Sementara itu, masuknya spanyol ke MEE menjadikan kawasan tersebut mempunyai kapasitas produksi minyak zaitun dan minyak kedelai yang besar sehingga akan berpengaruh terhadap impor minyak nabati lainnya. Bukti-bukti ini menunjukkan bahwa dari sisi permintaan, pertumbuhan permintaan untuk ekspor minyak sawit akan bergerak dengan lamban.

0 comments:

Powered by Blogger.

About Me

Popular Posts

Recent Comments

Followers

Visitors